1 Bab 1: Penghargaan

Malam yang menawan. Ballroom Hotel Miyami Kurikawa di tengah Kota Tokyo penuh keramaian menyilaukan. Ratusan tamu undangan mengenakan pakaian terbaik dan para wartawan mengerumuni spot tertentu untuk melaksanakan wawancara.

Karpet merah membentang panjang mulai dari pintu hingga ruangan terdalamnya. Di sana ada begitu banyak tokoh publik yang menjadi bintang tamu istimewa. Mereka adalah aktor, aktris, olahragawan, desainer, fotografer, model, youtuber, editor majalah, food enthusiast, blogger, komikus, novelis, dan masih banyak lagi.

Campur aduk memang. Namun mereka adalah selebrita di bidang masing-masing.

Satu yang terpopuler adalah Renji Isamu. Seorang Sensei Novelis BL dan senior di perusahaan penerbitan Mayumi yang mendapatkan penghargaan bergengsi Kikukawa malam ini.

Wanita-wanita cantik yang mengerumuninya bahkan lebih menyemut daripada para wartawan. Mereka mendesak-desak, dengan aroma parfum berbagai merek dan warna lipstik keluaran terbaru hanya karena ingin mencari perhatiannya. Di tangan, masing-masing membawa novel setebal 1050 halaman yang distempeli best seller dengan tingkat penjualan 35 kali cetak ulang sepanjang tahun 2018.

Sungguh luar biasa, memang. Apalagi dengan tampang rupawan itu. Mata emasnya yang berkilat di bawah lampu bahkan lebih menawan daripada para aktor di panggung sana.

Renji Isamu yang telah turun panggung setelah menerima sebuah trofi yang berkilau. Pesonanya menguar hebat layaknya bunga mawar merah diserbu lebah di jauh sana. Indah, namun dia tidak nyaman.

Senyumnya palsu kala mencoret-coret semua novel itu dengan tanda tangan. Dan kala para wartawan bertanya sesuatu, dia menjawab sekenanya. Acuh, terkesan tak peduli, namun semua orang tetap saja mengagumi.

Haru, sang sahabat paling setia sekaligus manajer pribadinya dengan sopan meminta mereka untuk menjauh. Mereka pun protes, namun mau bagaimana jika rundown acara telah berganti.

Renji Isamu harus pindah panel menuju sesi perayaan khusus. Di hotel lain, sebuah pesta telah menanti  dan dibuat oleh perusahaan penerbit yang menaunginya.

Semua novelis di Jepang pasti iri saat ini. Walau  mereka hanya menonton acara itu lewat televisi atau streaming di sosial media.

Liur mereka mungkin menetes melihat pria itu berjalan keluar di karpet merah. Dengan para wartawan tetap mengejar, fans yang terus menjerit, bodyguard yang getol memisahkan gerombolan itu dan Haru yang bersikukuh menggandengnya masuk limusin.

Mobil mewah berbadan panjang itu telah menanti. Pintunya terbuka satu dan Renji masuk dengan satu dorongan gugup dari Haru. Saat akan ditutup, para fans terlihat ingin meraihnya seperti mencakar.

Begitu roda berjalan, Haru menghela napas panjang.

"Ya Tuhan... hari ini sungguh melelahkan," keluhnya. Dan saat melirik, Renji justru hanya diam. Dia melihat keluar jendela dengan mata kosong. Trofi berkilau di tangannya bahkan tampak tak lebih berharga daripada seonggok rongsokan. "Ren, apa kau baik-baik saja?"

Pertanyaan bodoh.

Haru tahu itu.

Renji Isamu. Pria itu. Yang diinginkan sejuta umat, namun hatinya hanya menginginkan satu wanita.

Jean Liew.

Mereka berdua telah berhubungan selama 7 tahun ini. Tepatnya sejak awal masuk kuliah strata satu.

Sayang, 3 hari lalu wanita itu mencampakkannya. Dengan satu lemparan keras, cicin di jarinya melayang jatuh ke dasar sungai. Liontin indah di lehernya pun ditarik kasar. Lalu diinjak di bawah kaki.

"Kau sungguh-sungguh memuakkan!" teriak Jean sebelum pergi.

Renji sudah lupa bagaimana asal-asalnya. Yang pasti semua terasa seperti mimpi. Mereka yang telah bertahan selama itu justru memudar pada akhirnya.

Haru hanya bisa diam melihat semua adegan itu.

"Ren, ayo kita pulang..." kata Haru. Namun Renji seperti buta dan tuli. Pria itu hanya diam dan memungut liontin putus yang tersisa. Memandangnya di telapak tangan tanpa berkedip, bahkan hingga Haru memeluknya. "Aku tahu kau terluka. Tapi bertahan, oke? Lusa ada penghargaan besar untuk dirimu."

Renji pun masih diam kala digandeng untuk pulang. Pria itu mengikuti langkahnya ke mobil dan tidak bicara sedikit pun sampai penthouse-nya.

Di depan pintu, Haru pun menghela napas lagi. Dia meraba sedikit saku celana Renji demi menemukan dompet tebalnya. Di dalam sana ada beberapa yen saja namun penuh oleh kartu.

Haru pun mengambil kartu kunci dan menggesek pintu agar terbuka. "Ayo, masuk," katanya.

"Kau istirahat saja malam ini. Tapi akan kubuatkan teh hangat sebelum pergi."

Renji didudukkan di pinggir ranjang.

Haru berharap pria itu langsung berebah mengingat malam selarut ini, sayang nihil. Dia tetap di posisi yang sama mulai ditinggal ke dapur hingga Haru kembali dengan teh hangat.

"Ya, Tuhan... benar-benar..."

Haru pun meletakkan teh itu diatas nakas. Dia berjongkok di depan Renji dan membuka sepatunya satu per satu. Pertama sepatu, kedua kaus kaki, dan ketiga syalnya yang sudah penuh serpihan salju.

"Kau tidak mau tidur?"

Haru mendongak, Renji mulai menatapnya. "Ya."

Haru pun tersenyum lega. "Kalau begitu minum tehmu dulu, oke?" katanya. "Dan habiskan—"

"Tidur denganmu."

"Apa?"

Renji diam. Tidak menjawab, dan tidak mencoba menjelaskan.

Sejujurnya, Haru sudah paham. Meskipun begitu dia tak habis pikir. Bagaimana bisa sahabatnya ini meminta seks disaat-saat yang tak kondusif.

Bukankah hatinya sedang hancur?

Oh.. benar juga. Dia mungkin hanya butuh pelampiasan.

"Ren, apa kau yakin?"

Renji tetap saja diam. Namun Haru tahu, itu lebih dari menjelaskan.

"Ren, dengar," Haru menggenggam kedua tangan itu. Dingin. Beku. Dan terasa kosong bagaikan angin. "Jean mungkin hanya sedang agak lelah. Kau tidak lihat matanya tadi? Dia pasti memiliki masalah saat ini. Dan kalau memang buntu nanti, pasti datang lagi kepadamu."

"Tidak."

Kali ini Haru yang terdiam.

"Sekarang dia memang sangat lelah,"  perlahan, Renji mendongak ke langit-langit kamar. "Apa aku terlalu mengabaikannya selama ini."

"Hei... bukan begitu..." kata Haru.

"Atau ternyata dia tidak bisa menerimaku yang begini."

Begini.

Haru tertegun mendengar satu kata itu. Sebab artinya begitu dalam.

Renji memang besar dengan berbagai kesuksesannya. Dia brilian. Namun di balik itu, hidupnya lumayan berantakan.

Masa mudanya diliputi keabsurdan. Dia mungkin jenius di bidangnya, namun nol persen dalam sosial. Selama sekolah dia sering dijauhi teman sekelas dan hanya Haru yang entah kenapa bisa bertahan di sisinya.

Kemudian... kemana pun... mereka seolah menjadi satu. Bermain seks sejak mulai masuk senior, tetap masuk jurusan sama sampai Jean datang dengan pola hubungan baru yang tercipta.

Jean tidak pernah mempermasalahkannya selama ini. Toh dia berasal dari lingkungan yang lebih parah dari itu. Jadi, harusnya tidak mungkin alasannya hal tersebut. Dia bahkan pernah melihat Renji bangun dari tidur dengan berbagai teman seks sejak awal. Begitu pun Renji kepadanya. Pria itu juga tidak menaruh cemburu sedikit pun pada teman-teman seksnya.

Semua sungguh baik-baik saja hingga pertunangan itu terjadi.

Seminggu kemudian, Jean tiba-tiba pamit ke Paris untuk mengikuti next top model. Namun, entah bagaimana awalnya... hubungan mereka mulai renggang sejak itu. Puncaknya tadi malam. Dan kini Renji layaknya kapal tanpa suar. Dia mungkin menyetir kemudi namun hilang arah ditelan badai.

"Tidak. Pasti tidak," kata Haru. Berusaha meyakinkan.

Renji justru menaruh liontin itu di tangannnya. "Simpankan untukku," katanya. "Di lemari. Jangan sampai rusaknya semakin parah di tanganku."

"Oke," kata Haru. Dengan senyuman tipis. "Kalau begitu sebentar..."

Haru pun menuju ke ruang ganti Renji dan menyimpankan liontin itu. Tak ada keraguan, Sebab dia memang hapal bagian manapun tempat ini. Namun, saat kembali... Renji sudah tidak ada.

Dari balkon, Haru melihat pria itu menyeret kaki menuju mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi tanpa tahu tujuannya.

Haru pun menelpon, nomornya malah diblokir sementara. Haru menyusul, namun Renji tak ada dimana pun biasa berkunjung. Bagusnya, pada pagi buta esok hari... Renji berjalan pelan di koridor. Pria itu terhuyung-huyung karena mabuk. Dan Haru yang menunggui di depan pintu penthouse-nya pun segera menghampiri. Berlari.

"Renji!" teriaknya cemas. Dia yakin Renji pasti tersungkur seandainya telat mendekat sedetik saja.

"Air..." kata Renji.

Tak mau menghabiskan waktu, Haru pun menyeretnya masuk dan menidurkannya dengan baik.

Setelah itu, Renji bahkan tidak bangun tiga hari sampai hari H penghargaan. Dia seperti mayat hidup. Dan saat baru membuka mata... dia justru muntah hanya karena mencium aroma sup.

"Astaga... aku bisa gila karena ini," keluh Haru. Dia memeluk Renji yang sepuat ikan mati. Di tepi ranjang itu... selain mereka ada sebuah berkas pidato yang disiapkan. Mulanya rapi, namun kini berserakan.

Pesan dari perusahaan, harusnya Renji sudah menghapalkannya pagi itu untuk sambutan dalam pesta. Tapi, ya sudahlah...

Kenyataannya masih bagus mereka bisa berangkat di kedua jadwal besar itu malam ini.

Saat turun dari limusin, lagi-lagi Renji mendapat sambutan hangat.

"Ren-Ren, Nii-san!" seru Yuki. Dia adalah novelis BL baru yang sukses besar dalam debutnya. Wanita berparas meriah ini langsung melompat dari mobil demi menabrak peluk Renji di depan umum.

"HEI!" jerit Haru melarang.

Ckrek! Ckrek! Ckrek!

Namun kamera wartawan sudah menangkap momen itu secepat kilat.

Awalnya memang heboh, namun mereka justru mengerutkan kening begitu melihat hasil foto yang ada. Sebab dari puluhan yang dijepret, tak satu pun yang menampilkan Renji antusias dengan itu.

Tatapan Renji kosong. Dan dia membeku di tempat layaknya patung kayu hiasan.

Seketika, Yuki pun salah tingkah begitu parah. "Ahaha... lihat? Renji-niisan yang luar biasa sudah datang!" serunya ke salah satu kamera. Lalu dia menggandeng Renji masuk ke dalam. "Ayo! Kita sambut dia sama-sama mungkin, Teman-teman!"

Sebenarnya, semua itu tidak salah. Adegan tabrak peluk yang Yuki berikan memang ada dalam berkas. Sebelum memberi sambutan, harusnya Renji pun akting drama sepertinya. Sebab mereka adalah novelis andalan perusahaan tahun ini. Karena itu, kebersamaan mereka memang diatur di depan media. Demi pamor, dan masih banyak hal lainnya.

Sayang, mungkin malam ini almanak Yuki sedang buruk. Sebab Renji benar-benar mengabaikannya tanpa peduli kesan.

"Terima kasih, semuanya," kata Renji. Di tengah pesta, di sesi sambutan. Tanpa senyuman dia memberi ojigi dengan sopan.

"Silahkan nikmati pesta ini hingga selesai."

Renji mendapat aplaus lagi meski seorang agen perusahaan ngomel-ngomel di belakang.

"APA-APAAN HOMO ITU!" cercanya seenak hati. "DIA BAHKAN TIDAK MEMBACA SKRIP-KU SEDIKIT PUN!"

"Sudah-sudah... tidak masalah," kata lelaki di sampingnya. Dia adalah produser ternama yang hendak menggodok karya Renji menjadi sebuah film kolosal. "Mungkin sekarang dia memang ada masalah. Toh tanpa skrip pun dukungannya lebih dari harapan saat ini."

"Persetan!" hardik agen itu sebelum pergi tenggelam di tirai panggung.

Saat itu, Haru pun mengalihkan lirikkannya dari mereka. Dia pura-pura tetap fokus ke gelas wine dan membalas obrolan random di sekitarnya.

Sayang tak lama. Sebab setelah itu dia menangkap satu adegan bahaya di bangku Renji.

Brakh!

"Argh!" jerit Yuki. Yang mendadak dihempas ke meja saat berusaha menempel Renji.

Dua botol wine pun jatuh pecah. Dan beberapa buah yang ditata rapi menggelinding dari bakinya.

Seketika, pesta beku. Hampir seluruh tamu undangan berhenti dari aktivitas masing-masing.

Renji pun melirik sekitar dan berkata, "Maaf, tak sengaja." Katanya. Sebelum melanting Yuki pelan-pelan meski enggan.

Padahal Haru melihatnya dengan jelas. Nyata-nyata Renji mengumpat "Jalang!" ke wanita itu dengan desisan muak sebelumnya.

Suaranya mungkin tak terdengar, namun gerakan bibirnya membeberkan semua itu.

Beberapa kamera pun mengabadikan momen barusan sebelum Renji ojigi pergi. Pria itu langsung melangkah kembali ke limusin setelah membuat Yuki terlolong bengong. Haru berdecih. Dia meletakkan gelas wine-nya dengan emosi sebelum segera menyusul Renji.

"Ren, kita pulang sekarang, oke?" kata Haru sambil menutup pintu mobil. "Tidak apa-apa. Aku akan bilang ke kepala bagian kalau kau kurang sehat hari ini. Mereka pasti bisa mengerti."

Bukannya setuju, Renji justru berkata dengan nada memerintah.

"Aku ingin seorang pelacur."

"Apa?"

Jujur, Haru mengira telinganya sudah rusak.

"Pesankan pelacur," ulang Renji. Dia menatap Haru lurus.

Sejenak Haru diam, namun akhirnya dia tersenyum. "Ren... yang kau butuhkan itu istirahat," katanya halus. "Akan kupesankan. Pasti. Tapi kalau kondisimu sudah mendingan, mengerti?"

"Kau tidak mengerti ucapanku?"

Haru tertegun. Tiga detik kemudian Renji sudah menarik tengkuknya dengan kasar.

Menciumnya. Menjamahnya. Dan mendorongnya rebah ke kursi panjang itu.

"Ren!" protes Haru. Dia memukul dan mendorong bahu Renji. "Hei, sudah! Ren!"

Renji justru semakin menjadi-jadi. Dia membungkam bibir Haru dengan tangan dan mulai membuat banyak jejak merah di leher itu.

"Ren! Ya tuhan... apa kau lupa kita dimana?"

"Diam!"

"Ummppff!"

Sopir limusin di depan sana bahkan sampai melirik ke spion depan sebelum menutup lubang kecil yang menghubungkan. Cari aman. Atau memang terbiasa menghadapi kelakuan tamu istimewa yang diantarnya.

PLAK!

Haru refleks mundur ke belakang begitu Renji mulai berhenti. Sahabatnya itu diam. Wajahnya tertutup oleh rambut berantakan. Canggung, Haru pun menoleh ke telapak tangannya yang gemetar setelah memberi tamparan kasar.

"Ren, maksudku bukan begitu..." kata Haru. Dia pun segera mendekat lagi dan menangkup kedua pipi Renji. Disibaknya rambut itu, namun Renji menampiknya.

"Jangan menyentuhku."

Haru tetap mendekati. "Ren..."

Haru tahu, yang Renji butuhkan sekarang adalah pengertian. Sahabatnya itu memang agak tempramen. Namun semarah-marahnya ke dia, tak pernah sungguhan menolaknya.

"Kau harus tenang..."

Haru memeluk, dan mengelus punggung itu. Renji diam dan membiarkan keningnya rebah di sana. Padahal bahunya kecil, tapi selalu menjadi tempat sandaran Renji kala hubungannya dengan Jean bermasalah.

Haru memejamkan mata. Dia lelah. Jujur dia ikutan lelah. Selama ini menjadi sahabat dan teman seks Renji, otomatis hal apapun tentang pria ini telah diingatnya tanpa kecuali.

Perasaannya, pikirannya, rahasianya, dan semua masalah pekerjaan bahkan keluarganya... Renji tak pernah melarangnya mencampuri.

Termasuk soal Jean.

Saat sampai penthouse Renji, Haru lagi-lagi harus merogoh saku celana pria itu untuk membuka kunci pintu. Dan saat masuk, dia tak pernah kaget lagi jika tubuhnya langsung di desak menempel pintu. Dicumbu.

Haru akan membiarkan jika memang bisa meringankan pikiran pria itu. Dia balas memeluk, mencium, dan berpegangan ke lehernya. Hingga kemejanya mulai naik ke dada, dia mendorong bahu Renji. "Hei, tunggu," katanya. "Kau tidak jadi pesan pelacur?"

Tatapan Renji redup temaram.

"Tidak."

"Oh..." desah Haru. "Sekarang, bagaimana?"

Tanpa Jawaban, Renji mengangkat Haru perlahan. Haru sendiri hapal pergerakan pria itu. Dia melingkarkan kedua kaki di pinggang berotot itu dan segera menahan tubuh dengan lengan begitu Renji membanting punggung ke atas ranjang.

Selanjutnya? Tentu saja mereka bercinta. Seperti biasa. Kadangkala Renji memang membiarkannya ada di atas. Memimpin pergerakan di awal-awal lalu dicelup dalam setelahnya.

Walau pagi itu tiba-tiba ruangan kosong. Kontak mobil yang semula tergantung di headstand telah hilang. Pertanda Renji telah pergi.

Lagi-lagi nomornya diblokir saat menelpon. Dan Renji tak meninggalkan jejak lokasi apapun karena ponselnya dimatikan.

"Ya Tuhan..." desah Haru lelah. Dia memang tak pernah diizinkan mencampuri kepergiannya selama ini. "Semoga kau tetap saja kembali, Ren," Dia pun mengunci layar ponsel dan kembali memejamkan mata. "Seperti biasanya."

.

.

.

Di dalam sebuah bar bawah tanah.

Remang-remang, sepi pengunjung, dan hanya tersisa para pelayan.

Mereka membiarkan siapapun yang masih tidur di meja dan membersihkan tempat yang sudah kosong.

Bar 24 jam memang berjalan seperti itu. Kadangkala ada pasangan one night stand yang masih berpelukan di sofa panjang. Tertutupi sehelai pakaian atau ada yang tidak samasekali.

Pagi itu, Renji jadi salah satu yang tertidur. Tapi sendirian di sofa tunggal. Dan begitu tenang tanpa usikan.

Seorang pelayan pun mendekat. Dia mengambil uang dan tips lebih yang digeletakkan di atas meja, lalu memberesi botol birnya yang kosong dua sisa segelas.

Tanpa membangunkan.

"Hei, apa kau lihat pria itu?"

Namun sekitarnya tetap berisik.

"Yang mana?"

Sebab jam dinding kini menunjukkan pukul 8. Tentu, para pelacur, baik perempuan maupun gigolo pun mulai berdatangan. Mereka semua berparas cantik. Beraroma parfum. Dan memiliki style berpakaian masing-masing.

Mereka mulai memasang diri di pojokan spot-spot tertentu. Ada yang duduk menunggu pelanggan di sofa-sofa, ada yang berkeliaran ke sekitar ruangan, ada yang tiduran membaca majalah, dan ada juga yang duduk di kursi bartender.

"Itu... yang tidur sambil menekan pelipisnya."

Wanita berlipstik dan berkutek merah itu menunjuk Renji. Dia bukan pelacur, tapi berpenampilan lebih pelacur.

"Mana sih?"

Sekian kali ditanya, wanita itu pun berdecih. "Cih... ya ampun, Nan-kun. Apa kau tidak lihat visualisasi tampan yang disana?" tegasnya. Lagi-lagi menunjuk Renji.

Ginnan, si gigolo cantik bertopi bulat itu menoleh. Dia berhenti minum cocktail dan mulai mengerling ke arah pria itu.

"Pria bermasalah itu?"

"Apa?"

Sambil menatap si wanita yang menempelinya, Ginnan mulai bercelutuk asal. "Iya. Yang kau maksud  itu pria dengan muka bermasalah disana kan?"

"Hei... masak iya sih?"

Ginnan mengendikkan bahu. "Mungkin?" lalu menyesap cocktailnya lagi tanpa peduli. "Rerasanya aku sering melihat wajah itu akhir-akhir ini."

Kening wanita itu mengerut penasaran. "Benarkah? Dimana?"

Ginnan menggoyangkan gelas cocktail-nya. Tampak berpikir.

"Dimana... ya..." gumamnya. "Mungkin di supermarket?"

"Supermarket?"

Mendadak wanita lain menimpali. "Itu Renji Isamu," katanya. Sambil menunjuk menu minuman. Bibir berlipstik ungunya melengkung tipis. "Seorang novelis BL terkenal tiga tahun ini.  Popularitasnya bertahan di urutan tertinggi dan mendapat penghargaan lagi tadi malam."

"Oh..." desah wanita berkutek merah. Tapi Ginnan malah bingung.

"Apa?" tanyanya. "Hei, Yuka. Apanya yang oh?" lalu menatap si wanita ungu.

Yuka terkekeh. "Kau laki-laki mana tahu..." katanya meremehkan.

"Heh? Kenapa harus perempuan?"

"Lagipula kau itu lurus," kata Yuka lagi. "Ya kan, Lin?" dia mengerling rahasia ke wanita merah.

Melihat raut wajah bingung Ginnan yang makin menjadi, Lin pun terkekeh. "Sebenarnya tidak sih... ada juga laki-laki yang paham maksud Yuka, tapi memang jarang. Aku pun lurus tapi beberapa temanku ada yang seperti Yuka ini."

"Aku sungguh-sungguh tidak mengerti," kata Ginnan. "Bisa kau jelaskan lebih detil?" tanyanya penasaran. Dan memang begitulah sifat dasarnya. "Kau menjelaskan tapi malah jadi ambigu."

"Haha..." tawa Lin. "Menurutmu bagaimana, Yuka-chan? Apakah kita harus menodai kepolosan seorang Ginnan?" tanyanya jahil.

Yuka mengibas-ngibaskan tangan. "Jangan-jangan," larangnya. "Itu sangat berbahaya."

"Hei, apa sih?!" protes Ginnan kesal. "Aku ini gigolo. Mana ada namanya polos—"

"Apa kau pernah disewa pria?" tandas Yuka.

Bola mata Ginnan membola.

"Apa?!"

"Ditiduri pria. Dan ditusuk di lubangmu." Jelas Yuka.

Muka Ginnan langsung memerah. "HEI! ITU SIH PELANGGARAN HAK ASASI!" jeritnya tanpa sadar.

Membuat bebrapa pelanggan yang masih tidur mengumpat bangun dan yang baru datang menutup telinga.

Dia pun mendengus pelan dan berbisik kesal. "Lalu apa gunanya batang perkasaku kalau malah ditusuk pria?" tanyanya, masih polos.

Lin tertawa, Yuka malah terbatuk ketika minum. "Kau? Perkasa? Dari mananya?" cemoohnya. "Muka manis begitu sebenarnya cocok digagahi—"

"HEI!"

Umpatan pelangan edisi dua.

Ginnan kini dapat teguran langsung dari bartender. Sampai-sampai dia mengepalkan tangan karena emosi.

Lin dengan pandai mengelus lehernya yang minus jakun dan mengecupnya. "Hei... hei... tenang saja, Baby-ku. Yuka-chan hanya ingin menggodamu," katanya. "Tapi memang benar sih... kalau disewa pria, benda perkasamu jadi tak berguna."

"Ya tuhan... ternyata ada ya yang begitu?" tanyanya. Karena sangking tak percayanya. "Bukankah kalau mau seks dengan pria tinggal cari teman di bar gay?"

"Jadi kau sungguhan tidak tahu?"

"Tentu saja tidak. Madam Shin itu baik. Dia menyortir semua pelanggan yang datang dan tidak sembarangan memilih orang." Kata Ginnan. "Makanya sampai sekarang aku masih sehat-sehat saja."

"Ohoho... tentu saja. Madammu juga Madamku, Bodoh. Memang siapa yang coba kau beritahu?" tandas Yuka. Separuh ketus, separuh mengusili.

"Jadi, Baby..." Lin menoleh ke Renji dan membimbing dagu Ginnan ikut mengarah kesana. "Dia itu novelis BL. Boys love. Cerita tentang percintaan laki-laki dan laki-laki. Dan kau tahu kenapa dia populer? Selain karena ceritanya memang bagus... kehidupan nyatanya itu bisa jadi asupan bagi penggemarnya."

"Maksudnya?"

"Dia bukan hanya menulis, Sayang. Tapi juga menjalaninya."

"Apa?!"

Lin dengan santai bergelayutan di lehernya. "Aku tidak menyukai dunia seperti itu sih..." katanya. "Tapi kalau ada temanku yang cerita pasti akan kudengarkan. Aku ini toleran, mengerti?"

"Oh..." gumam Ginnan. Kali ini dia melihat wajah Renji lamat-lamat. "Jadi maksudmu dia punya pacar pria, begitu?"

"Kurang lebih," kata Lin. "Tapi tidak juga sih. Lebih tepatnya teman seks. Dia punya banyak yang begitu."

"Ya ampun..."

"Yang paling dekat adalah sahabat sekaligus manajernya," kata Lin. "Kalau tidak salah namanya Haruki. Dan itu sudah bukan rahasia."

"Sampai begitu. Benar-benar keterlaluan..." gumam Ginnan tanpa sadar.

Yuka mendengus. "Kau bilang dia keterlaluan lalu kita sendiri apa? Malah ngeseks untuk uang." tandasnya kesal. Lebih tidak rela jika idolanya dijelekkan.

Seketika Ginnan meringis. "Hei, kau benar juga..." katanya salah tingkah.

"Tapi kudengar dia juga punya pacar perempuan sih..." kata Lin. Lalu mengendikkan bahu saat ditatap horor Ginnan. "Cuma dari cerita temanku juga."

"Uwakh... aku tidak ikut-ikutan," kata Ginnan. "Sudah berhenti saja cerita dia. Merinding tahu membayangkannya."

"Haha..." tawa Lyn. "Oh, ya... Yuka-chan? Daripada nimbrung disini, kenapa tidak mendekatinya? Bukankah dia idolamu?"

"Renji maksudmu?" tanya Yuka retoris. Dia justru duduk dan menyesap wine merahnya pelan-pelan. Tampak santai, sembari menonton wajah tidur Renji dari kejauhan. "Tidak. Dia itu mengerikkan. Harus pakai strategi kalau memang niat sungguhan."

"Oh, ya?" tanya Lin. "Bukankah dia itu gampangan?"

"Kau menilainya begitu hanya karena terkenal punya banyak teman seks?" tanya Yuka retoris. "Benar-benar sebelah mata."

"Yah aku kan bukan penggemarnya..." kata Lin. "Tapi memang sesulit apa sih?"

Baru saja bilang begitu, mendadak Renji terbangun di seberang sana. Dia memandang ke sekitar yang mulai ramai dan beranjak ke kursi bartender sebelum seorang pelacur mendekatinya.

"Haha!" tawa Yuka seketika.

Renji seolah punya radar berbahaya yang dipasang aktif sepanjang waktu.

"Air..." kata Renji. Yang entah kebetulan atau bukan. Kursi yang didudukinya tepat di sebelah mereka bertiga. Bartender di depannya pun menyuguhkan yang dipesan.

Renji meneguk air, mereka bertiga salah fokus dengan jakunnya.

Naik turun, naik turun. Sangat perlahan seiring aliran air yang meluncur ke dalamnya. Pria itu bahkan terpejam karena masih agak mengantuk dan tidak menyadari ditatap fokus seperti barusan.

"Makasih," kata Renji. Tapi mendadak melirik tepat ke Ginnan.

DEG

"Hei... aku?" bisik Ginnan. Refleks dia menoleh panik ke Lin.

Lin cengengesan. Dan baru ingin menggodanya.

Tapi baru tiga detik, Renji sudah mengeluarkan ponselnya yang berbunyi.

"Oh... dia ditelfon seseorang," gumam Lin memperhatikan. "Kira-kira siapa, hm?"

"Mana kutahu." Kata Ginnan masih berbisik.

"Mungkin Haru," kata Yuka menambahi. "Yang pasti ini bisa jadi bahan gosip di grup chat-ku nanti."

Lin menoleh ke Yuka. "Ho... Kau tidak ingin memotretnya diam-diam?"

"Aku merekam permbicaraan kita sejak tadi."

"Apa?!"

Ginnan memprotes, Yuka menunjuk ponsel yang diletakkan di samping gelas wine-nya tanpa dosa. "Aku ini fujoshi canggih, kau tahu?"

"Fujo—apa?"

Mendadak terdengar umpatan bahasa ibu.

Seketika, mereka bertiga menoleh ke Renji. Dan Pria itu membanting ponselnya kasar ke meja. Tak peduli. Padahal layar benda itu langsung mati.

"Tolong, satu gelas Rockflare Island," pesan Renji. Lalu menyulut rokok yang tersimpan di saku jaketnya.

Asap pun mengepul ke udara.

Bartender yang dipesani tersenyum ramah kala menyuguhkan.

"Harimu sedang buruk, Tuan?" tanyanya halus. "Sejak tadi malam kau masih saja tahan disini."

"Yeah..." kata Renji sekenanya. Rokok dicabut diantara jari, dan segelas wine lagi-lagi tandas dengan gerakan jakun yang sensual.

"Dia benar-benar dewa visual..." gumam Ginnan tanpa sadar. Matanya bahkan tak berkedip melihat pemandangan itu.

Refleks, Lyn dan Yuka over-reaction.

"Hei, Bung..." kata Lyn heran.

"Apa kau bilang tadi?" tanya Yuka tak mau kalah.

"Eh? Aku?" bingung Ginnan. Setelah bebeerapa detik, dia berkedip. "Memang tadi aku bilang apa?" tanyanya, lalu menoleh ke arah Yuka.

"Dasar bodoh..." umpat Yuka. "Kau yang begitu mengaku lurus-lurus saja heh? Apanya yang homofobik coba?"

"Homo apa katamu?" tanya Ginnan tak terima.

"Kalau memang tidak homofobik bisa buktikan kepada kami?" tantang Lin. Sambil mengerling ke Yuka, dia bersandiwara minta bantuan.

Sinyal 4G, Yuka tersenyum sumeringah. "Hei, benar juga. Kenapa tidak dekati dia, kalau memang bisa biasa." Katanya. Dengan bahu mengendik, dia menoleh ke arah Renji.

Pria itu kini menunggu gelasnya dituang lagi. Dengan paras agak berantakan, baru bangun dari tidurnya yang bermasalah, belum mandi, tapi entah kenapa terlihat panas.

Caranya menghembuskan asap rokok bahkan pantas ditangkap kamera editorial.

"Hei, kenapa harus begitu?" tanya Ginnan curiga.

"Kalau takut berinteraksi dengan pria sepertinya, sisi mana yang kau sebut perkasa?" tantang Yuka lagi.

Sungguh-sungguh kompor sejati.

Bagusnya, Ginnan tetap berusaha tak peduli. Tapi Lin tetap mendorongnya jatuh ke depan.

"Hei!" protes Ginnan. Dan dia terpaksa mengerem diri sebelum menabrak tubuh Renji. "Uwakh! Maaf, Tuan!" katanya. Lalu segera mundur teratur. "Apa kau terluka? Apa aku mengenaimu? Eh gelas wine Anda!"

Jeritan Ginnan belum selesai tapi cairan merah itu sudah meluber di coat tebal Renji. Bulu serigala di lehernya yang memanjang hingga dada bahkan ikut layu dan menetes-netes.

Renji menatap Ginnan sejenak. Mata emasnya seolah ingin menerkam layaknya serigala sungguhan.

Ginnan sendiri sudah menahan nafas dan ketar-ketir akan digampar, tapi Renji justru hanya mengambil tisu di depannya.

"Lain kali hati-hati," kata Renji. Diusapnya luberan itu pelan-pelan. Tatapannya layu, dan kembali minum dengan santai. Seolah tak pernah terjadi apa-apa dan seolah tak ada Ginnan juga disana.

"Oh... ya..." kata Ginnan. Mendadak jadi prihatin ke pria ini. "Tapi aku kan mengotori jaketmu? Apa kau sungguh baik saja?" tanyanya. Lalu duduk di kursi sebelah Renji.

"Hm..." gumam Renji tanpa menoleh.

"Jaketmu kan mahal..."

"Aku bisa bisa beli yang sama nanti."

Jawaban seringan angin. Padahal meski Ginnan tak mengerti merek-merek bergengsi, dia tahu apapun yang dikenakan Renji itu berkelas. 

"Maaf, ya."

"Hm..."

Ginnan garuk-garuk kepala. "Ngomong-ngomong aku tadi mendengar ucapan Mr. Han," katanya. "Maksudku bartender yang melayanimu."

"Kau menyebut namaku?" tanya Mr. Han.

"Iya, tapi jangan menguping," kata Ginnnan. Dia mengibaskan tangan.

"Sana pergi kerja."

"Hish!" protes Mr. Han. Tapi pria itu tetap pergi ke belakang dengan serbet dan botol kosongnya.

"Soal kau kesini sejak semalam," kata Ginnan. Lagi-lagi mengawali. "Lalu ketiduran disini, dan sekarang malah sarapan dengan wine keras."

"Itu bukan urusanmu."

Jleb!

"Ya ampun... benar juga," kata Ginnan. Setelah terdiam, salah tingkah. "Tapi tetap saja aku peduli. Apalagi penampilanmu sekarang kelihatan lebih berantakan karena ulahku. Apa kau ada masalah?"

Tak!

Renji meletakkan gelasnya, dan menoleh. Lagi-lagi tatapan layu itu. menusuk tepat ke mata Ginnan. Emasnya berkilau redup layaknya lilin.

"Kau bukan mencari perhatianku?"

"Apa?"

"Dengan penampilan itu, kalung itu, dan aroma itu," kata Renji. matanya menelusur dari mata, leher dan ke dada sarat parfum tempat Ginnan berfokus menyemprotkannya. "Kau sedang ingin kugumuli atau bagaimana?"

DEG

"A-Apa?" kaget Ginnan. Mukanya merona seperti tomat. "T-Tidak kok! Aku memang gigolo tapi khusus untuk perempuan. Aku kesini pun karen didorong teman-temanku."

"Teman-teman?"

"Iya, satu pelacur dan satu lagi yang berniat menyewaku," kata Ginnan berusaha meyakinkan. Dia pun berbalik dan menunjuk ke satu spot. "Itu disana."

DEG

"Kau sedang beralasan?" tanya Renji. Bahkan sebelum serangan jantungnya berakhir.

Sebab Yuka dan Lin sudah tidak ada disana. Bekas gelas mereka pun tak ada.

"Sial! Mereka pengkhianat! Tapi sungguh aku tak bohong!" tegas Ginnan. Matanya seperti meminta ampun. "Hei, percayalah padaku, Tuan. Aku terjebak di situasi ini."

Bukannya mendengarkan, Renji justru melihat kalung yang melilit di leher Ginnan. Seperti sabuk hewan peliharaan. Atau gigolo yang memang sedang menjaja diri.

"Sebenarnya kau tidak buruk." kata Renji. Telunjuk kirinya menelusup di kalung itu dan mendekatkan mereka berdua. Sementara telunjuk kanannya menekan puntung rokok ke asbak.

Mati.

"Eh, Tuan?"

Ginnan menutup matanya ketakutan, Renji justru meniti mata dari dekat. Seintens itu.

"Sayang baumu memualkan."

"Hah?"

Dalam satu hentakan, Ginnan mundur ke belakang.

"Menjauhlah dariku."

"Y-Ya Tuhan..."

Ginnan mengelus dada. Renji beranjak dengan meninggalkan beberapa lembar yen di meja. Pria itu menyeret ponsel dan kontak mobilnya keluar dari bar dan tak menoleh sekalipun dipanggil atas uang kembalian.

Ginnan hampir saja emosi. Kalau dia tak melihat sebuah kartu penting Renji tercecer di bawah kursi. Black card. Mungkin pria itu tak sengaja menjatuhkannya saat mengeluarkan uang dari dompet.

"Astaga... ini benar-benar kartu hitam," kata Ginnan. Dia mengelus pelan kartu itu dengan bujarinya.  "Memang sekaya apa sih orang itu?"

Tanpa pikir panjang, Ginnan pun segera berlari dan mengejar. Seperti naluri. Terbiasa melakukan kebaikan apapun yang dirasa perlu.

"Hei, Tuan!" panggil Ginnan. Dia melambai keras dan segera lari lagi ketika Renji mulai berbalik. Pria itu sudah di depan audi hitamnya dan tetap dengan muka datar. "Kartumu! Ini! Terjatuh tadi di lantai!"

Renji memandang Ginnan yang berlutut di depannya dengan napas tersengal-sengal. Lelaki gigolo itu tertawa senang sembari mengusap keringat di keningnya.

"Kartumu kan?"

Renji menerima kartu itu. "Ya," lalu menatap senyum maksimal yang tampak khas di wajah itu.

"Kau ingin barang apa dariku?"

"Hah?"

"Balas budi. Aku tidak suka berhutang."

Ginnan justru cengengesan. "Apa sih. Serius sekali," katanya. Lalu mengibaskan tangan. "Tapi kalau kau memaksa, bagaimana kalau kita kenalan? Kau tadi sempat melirikku kan? Mengaku saja."

"..."

Ginnan tetap dengan senyumnya, meski diacuhkan. "Namaku Ginnan Takahashi. Dan—yeah... kerjaku memang jadi pelacur pria sih. Tapi aku lurus kok. Jadi sumpah tidak ada maksud apapun kepadamu. Tadi itu kerjaan dari teman-temanku. Mereka mendorongku ke mejamku sampai—pokoknya begitu," katanya. Membela diri. "Makanya jangan salah paham lagi, oke? Dan maaf soal parfumku. Haha... ini memang merek murahan," dia menunjuk Renji sekilas. "Coba kalau aku kaya sepertimu. Pasti beli yang bagus-bagus."

"Aku tak tertarik kenal pelacur."

DEG

"Wow—apa?" Ginnan garuk-garuk kepala. Dia memang pelacur pria tapi tak pernah merasa serendah ini. "Oh baiklah. Setidaknya kau pria jujur. Hahaha..."

"Tapi tolong ikutlah denganku."

"Heh?"

Renji berbalik. Berjalan masuk ke mobilnya dengan bunyi alarm dari sonar.

Awalnya Ginnan mengira sudah tuli, tapi setelah duduk di belakang kemudinya. Renji memandangnya dan menunggu.

"Masuk."

"Tungg-tunggu-tunggu. Tapi aku sudah bilang kalau lurus!" jeritnya. Panik. Lalu menunjuk ke belakang dengan bujarinya.

"Lagipula aku sudah dipesan wanita tadi. Mana mungkin ikut denganmu?"

"Apa aku harus menyeretmu?"

DEG

Ginnan membalas tatapan mata emas itu lebih jeli. Pria itu... jujur dia bingung menilainya. Dibilang baik, nyatanya omongannya tajam. Tapi dibilang buruk, kadang sikapnya jadi sopan.

Seperti pedang dua mata. Atau pedang yang mengancam lubang sucinya.

"Apa aku akan dikembalikan baik-baik saja?" tanya Ginnan. "Maksudku, kau ini... tidak sedang ingin menculikku kan? Soalnya gajiku bisa dipotong Madam Shin kalau sembarangan ikut orang."

Di luar dugaan, Renji malah keluar lagi. Pria itu meraih tangannya dan benar-benar menyeretnya masuk ke dalam.

"Duduk. Kukembalikan kau nanti dengan baik," kata Renji sebelum melajukan audinya.

Ginnan memicing. Dia memutar rasa curiga itu dalam dada sebelum memperbaiki posturnya. "Okelah," katanya. Lalu baru menyadari betapa rapi di dalam sini. "Wow..." desahnya pelan. Padahal Renji seorang perokok, dan gesturnya lumayan serampangan. Tapi mungkin kepribadiannya tidak separah itu.

"Tuan, jadi benar kau adalah Renji Isamu yang itu ya?"

Renji hanya melirik sekilas. "Hm."

"Tadi teman-temanku cerita tentangmu. Mereka bilang kau novelis hebat yang baru dapat penghargaan. Keren sekali."

"Terima kasih."

Senyum Ginnan langsung menghilang. "Hanya itu? Ketus sekali sih..." protesnya kesal. Walau setelahnya tersenyum lagi. "Tapi kalau diingat-ingat... mungkin dulu mantan pacarku juga pernah cerita soal idolanya. Dia bilang orang itu novelis hebat. Dan sekarang dia kerja di tempat yang sama dengan—ah aku yakin pasti itu kau! Namanya Yuki kalau kau kenal?"

Mendengar nama itu, mata langsung Renji berkilat. "Cih... perempuan sundal..." desahnya sekena. Tanpa menoleh sedikit pun.

"Apa katamu?"

"Aku tak mengenal satu wanita pun minggu ini," kata Renji. mendadak mulai bicara banyak. "Kecuali novelis anyaran berisik yang sering menggangguku dengan nama Yuki Reiko."

"Hei... jadi benar—"

"Apa dia mantan pacar yang kau maksud?"

Renji tersenyum masam saat itu. Sampai-sampai lidah Ginnan kelu dan sulit berkata meski ingin.

"Yuki-mu itu tak bisa dibandingkan dengan seseorang..." kata Renji. mendadak matanya menerawang. "...seseorang yang sangat mempesona tapi juga tak kalah menjijikkan."

Ginnan menelan ludah. Dia berusaha mencerna situasi ini dan mulai salah tingkah. Padahal dia barusan menetapkan Renji adalah orang yang tertutup dan cenderung tak mau didekati, tapi kenapa sekarang malah bicara hal pribadi?

"Anu... apa dia mantan pacarmu juga?"

Renji diam. Dan mobil berhenti tanpa Ginnan sadari.

"Kita sampai," kata Renji. Sambil mengantongi kontak, dia keluar dari sana. "Turunlah."

"Hei, tunggu!"

Ginnan cepat-cepat menyusul Renji dan keluar lewat pintu kemudi, sebelum tertutup. Renji bahkan sampai mundur ke belakang selangkah karena Ginnan hampir menabraknya lagi.

"Aku tak bisa membuka pintunya!" jerit Ginnan. "Dan maaf lagi soal barusan... haha..." dia garuk-garuk kepala.

Renji hanya menghela napas panjang dan menutup pintunya satu bantingan. "Ikut aku."

Seperti anak ayam, Ginnan lagi-lagi mengekori. Dia menoleh ke kanan kiri saat melihat dua deret penjaga memasuki toko mewah itu. Dia penasaran. Sebab plang di depan menggunakan bahasa asing dan dari dulu pun tak pernah berpikir memasuki toko ini.

"Hei, Tuan... mereka ini menjual apa sih?" tanyanya. Sembari mempercepat langkah di sebelah Renji. "Item rahasia?" bisiknya.

"Parfum."

"Hah? Serius?" Ginnan mulai memandang sekitar. "Tapi kenapa tidak ada botol parfum dipajang sejak tadi? Malah seperti ruang agensi."

"Ikut saja."

Ginnan merengut. Tapi dia tetap ikut. Mereka melewati beberapa pelanggan lain yang penampilannya tak kalah bergengsi dari Renji.

Seketika Ginnan merasa seperti anak hilang.

"Tuan, harusnya kau belikan saja aku. Kenapa aku harus ikut?"

Saat masuk lift, Renji hanya berdehem dan menekan tombol. Tetap mengabaikan hingga menemui seorang wanita cantik.

"Hei, Ren... apa kabar?" tanya wanita itu.

Rambutnya dicat abu, eye shadow-nya merah, blush on-nya berkilau, dan lipstiknya tampak mewah dengan glitter. Ginnan hampir silau dengan pakaian bermaniknya.

Hiasan itu penuh sepanjang dress sepahanya, namun terlihat sangat anggun.

"Aku hanya belum mandi," kata Renji. "Dan tersiram wine murahan."

Bukannya sungkan, wanita itu justru tertawa. "Wah-wah... kau memang berantakan," katanya. "Jadi menghilangmu semalam itu ke bar, hm? Haru pasti cemas sekali..." Lalu mengelus lembut pucuk kepala Renji.

Layaknya kekasih, ah bukan. Mungkin lebih kepada adik.

Tapi tunggu, kalaupun mereka keluarga. Kenapa mukanya tidak mirip?

Selagi Ginnan sibuk berpikir, mendadak dia justru disindir.

"Oh, hei... kau bawa seseorang, ya?"

Wanita itu menilik Ginnan sekilas.

"Hm."

"Teman seks barumu?"

DEG

"Apa?"

"Bukan."

Ginnan sudah panik, Renji datar, dan wanita itu justru terkekeh. "Oh... jadi siapa?"

"Hanya penjual seks yang menolongku."

"Wow. Benarkah?" wanita itu mendekati Ginnan. "Menolong apa memangnya?" hak sepatunya berkelotak di atas marmer.

"A-Anu aku... jangan dekat-dekat!" kata Ginnan.

"Oh? Kenapa?" bingung wanita itu.

Ginnan menunjuk Renji. "Kata Tuan itu bauku buruk!" katanya tanpa filter. "Makanya dia kesini membelikanku parfum."

"Oh..."

"Mungkin sih... karena dia tadi bilang soal balas budi."

"Kau manis sekali..."

"Apa?"

Wanita itu bertolak pinggang. "Manis. Aku suka style mukamu." Dia memutari Ginnan, yang refleks meyentuh mukanya tanpa sadar.

"Hei... mukaku memang begini sejak lahir," kata Ginnan. malah ikut-ikutan berputar di tempatnya. "Aku tidak operasi. Buat apa di-style segala?"

"Ahaha... manis dan polos ternyata," kata wanita itu. Menjentikkan jari bahkan sebelum sempat Ginnan protes. "Kalau begitu aku tahu parfum apa yang cocok untukmu."

"Hei, aku tidak polos!" jerit Ginnan. "Pelacur mana yang polos, sih?"

"Hahaha..."

"Hei, aku serius. Bisa kau beri aku parfum yang sangat-sangat pria?"

"Tenanglah, Tuan Manis. Sebentar lagi parfummu datang, hm?" kata wanita itu. Dia menepuk bahu Ginnan sebelum bisik-bisik pada Renji.

"Ya. Terserah saja. Kirim padaku tagihannya," kata Renji. Dia mengangguk, sebelum menoleh ke arah Ginnan.

Ginnan yang emosi, mendadak ingin mengalihkan pandangan entah kenapa.

"Aku tidak pernah sekesal ini..." gerutunya pelan.

Renji mendekat. "Kau akan diberi dua parfum," katanya. "Satu pilihanmu, satu lagi yang sesuai karaktermu."

"Apanya yang karakter? Aku tidak terima dinilai polos!" protes Ginnan.

"Kalau begitu pakai saja yang kau pilih. Tidak perlu memaksa diri," kata Renji. "Tapi Deby tidak mungkin sembarangan."

"Oh benarkah?" kata Ginnan. Malah justru semakin kesal. "Kalau begitu terserah saja."

"Terima kasih."

Ginnan diam. Dia menoleh ke Renji pelan-pelan.

Sungguh membingungkan.

"Sama-sama," kata Ginnan. "Walau aku penasaran kau sebenarnya orang jahat atau bukan."

Renji berkata dengan teguh. Dia tak mengalihkan pandangannya dari Ginnan sedikit pun. "Terserah bagaimana kau menilai."

Mendadak suara kelotak sepatu hak tinggi kembali terdengar. Itu Deby. Yang sekarang membawa dua tas belanjaan di tangannya. Labelnya memakai bahasa asing sama seperti plang yang dipasang di depan sana.

"Ini." kata Deby. Dia memberikan tas itu ke Ginnan yang tampak kaget dengan beratnya.

"Ya tuhan!"

Deby senyum. Apalagi saat melihat ekspresi itu. "Satu berisi parfum-parfummu, dan satu lagi hadiah rahasia yang kusiapkan."

"Eh? Hadiah?"

"Kau bisa memakainya saat ada acara istimewa," kata Deby. "Dengan muka manismu, harusnya kau lebih perhatian dengan visual."

"Ah... haha... terima kasih..."

Ginna melirik Renji, Renji menoleh ke Deby dan tampak tersenyum dengan matanya. "Kita bertemu lagi lain waktu."

Deby lagi-lagi mengelus pucuk kepala Renji. "Tenang saja. Aku selalu disini kalau kau ingin bermain-main," katanya halus. "Dan jangan pernah ragu cerita apapun masalahmu."

Ginnan melihat adegan itu lebih jeli. Senyum di mata Renji tampak lebih menyenangkan meski bibirnya tetap bergaris.

"Aku pergi," kata Renji. "Beritahu Ibu aku baik-baik saja."

"Oke."

"Eh... Ibu?"

Belum sempat Ginnan mencerna semuanya. Renji sudah memberi isyarat agar dia mengikuti.

"Kuantar kau kembali."

"Oh? Ya..." kata Ginnan. Lalu ojigi kepada Deby. "Permisi."

Begitu keluar, Ginnan tak bisa lagi menahan rasa penasarannya.

"Deby itu siapamu sih?" tanyanya.

"Maksudku, kau kan seperti ini. Hebat saja ada wanita yang kau hargai."

"Dia bibiku."

"Apa?!"

"Umurnya hampir 50 tapi memang agak menipu," jelas Renji. Mata fokus ke pintu lift. "Dia sendiri yang memintaku memanggil nama."

"Oh..." kata Ginnan. "Karena itu kau tidak membayar semua ini?"

Renji meliriknya sekilas mendengarnya. "Bodoh..."

"Hei! Aku kan bertanya."

Renji menggelengkan kepala dan lagi-lagi mendiamkannya hingga lantai satu. Harusnya itu tidak sopan, tapi kali ini dia ingat kalau Ginnan sangat kampungan. Jadi dia berhenti dan membukakan pintu sebelah kemudi agar Ginnan masuk dulu sebelum dirinya menyusul duduk.

Sampai di bar kembali. Ginnan dibukakan pintu lagi sampai Renji berdiri dulu di luar sana.

"Mn... pokoknya makasih," kata Ginnan. "Yang kau lakukan mungkin remeh, tapi menurutku sangat membantu," dia tersenyum lebar. "Kau tahu? Dengan parfum bagus mungkin aku kebanjiran pelanggan setelah ini..."

Renji tidak memandang kala menjawab. "Terserah saja, yang pasti aku tak berhutang lagi padamu." katanya. Lalu mengeluarkan kunci dan kembali masuk ke dalam mobil.

"Oh... oke. Bisa kuanggap jadi begitu," kata Ginnan. "Hati-hati."

Renji tetap menatap jalan tanpa menoleh sedikit pun. Harusnya tidak ada masalah setelah itu.

Mereka akan berpisah, dan semua sudah berakhir. Namun, saat mesin mobil mulai menyala... Ginnan mendadak refleks memasukkan tangannya lewat jendela.

"Hei, tunggu!" jerit Ginnan. Dia menarik seatbelt Renji yang tergantung percuma dan tertawa tepat di depan muka datar pria itu. "Aku baru sadar kalau kau punya kebiasaan buruk," katanya. Sambil memasang seatbelt itu. padahal posisinya susah, tapi tetap saja dilakukan. "Lain kali pakai ini terus oke? Dan istirahat juga setelah ini. Soalnya... sejak awal kau terlihat sangat bermasalah di mataku."

Renji diam. Dan membiarkan Ginnan selesai, keluar lagi, dan melambaikan tangan kepadanya.

"Oke kuulang," kata Ginnan. "Hati-hati ya di jalan."

Renji memandang lelaki itu sejenak sebelum benar-benar melajukan mesin mobilnya.

Bersambung...

avataravatar