1 Pengidap Leukimia

Bab1

Siang itu badannya demam, namun tidak di rasakan. Menurutnya dia mungkin hanya kelelahan karena terlalu lama di bawah sinar matahari.

Matahari begitu terik, sampai panasnya menusuk kulit. Jam menunjukkan pukul 11.30 siang.

Terdengar dari kejauhan suara adzan berkumandang. Terdengar jelas lalu menghilang. Suara itu seperti dibawa lari oleh semilir angin. Saat angin mulai kencang suaranya akan keras terdengar.

Kicauan burung yang bertengger di pohon di beberapa tempat persawahan bernyanyi dengan riangnya.

Melihat padi yang menguning dan seperti menari melambai-lambai, seakan mengajaknya bersuka cita.

Itulah yang membuat Nirmala betah di persawahan sampai siang hari.

Dia hanya melihat pemandangan yang indah itu disini.

Meski terasa lelah, namun terbayarkan dengan indahnya alam ciptaanNya.

Matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya pusing, bayangan yang tadi dia lihatnya indah kini berubah menjadi putih. Sabit yang dia bawah jatuh ketanah.

Mata terpejam, tubuh tergeletak dengan pelannya ke tanah di alas padi yang berwarna kuning.

"Nirmala, ayo pulang Nak. Sudah masuk waktu dhuhur," ajak seorang perempuan separuh baya. Dia Bibi Asih yang mengasuhnya dari dia lulus sekolah menengah atas (SMA)

Bibi Asih tidak memperhatikan Nirmala yang sudah jatuh pingsan.

Saat dia mengajak kedua kalinya, tidak ada suara sahutan. Bibi Asih memeriksa ke tempat Nirmala berdiri yang terhalang padi yang tumbuh tinggi.

"Nirmala Nirmala," Bibi Asih berteriak keras karena tidak ada sahutan dari Nirmala.

Saat sampai di tempat dimana Nirmala berdiri tadi, Bibi Asih melihat tubuh Nirmala terbaring di tanah beralas padi yang roboh.

Bibi Asih terkejut, dia mengoyak-koyakkan tubuh Nirmala, namun tidak kunjung sadar.

"Nirmala, badanmu demam tinggi," gumam Bibi Asih cemas.

Bibi Asih berteriak meminta pertolongan. Disana ada Beberapa orang saja. Karena petani lain sudah mendahuluinya.

Asep yang letak sawahnya tidak jauh dari sawah milik Bibi Asih. Mendengar teriakan Bibi Asih, dia berlari menghampirinya. Dia mengira ada ular yang menggigit Nirmala, ia melihat tubuh Nirmala terbaring di tanah.

"Sep, tolong Nirmala. Dia pingsan, bantu bawa dia ke dokter!" Suruh Bibi Asih pada Asep yang sudah menggendong tubuh Nirmala yang lemas.

"Buk Asih, Nirmala kenapa. Ini badannya panas benar Bu?" Tanya Asep yang ikut merasakan panasnya tubuh Nirmala. Sambil terus berjalan cepat sampai ke kejalan raya diikuti Bibi Asih.

"Ibu sendiri tidak tahu Sep, dia tidak bilang kalau dia sedang sakit. Tadi dia biasa saja, jadi Ibu fikir dia sehat," jawab Bibi Asih dengan menghadang angkot lewat di jalan itu.

"Pak, berhenti di depan rumah Dokter Anwar ya," ucap Bibi Asih pada supir Angkot yang mereka tumpangi.

"Baik Bu,"

Angkot berhenti tepat di gerbang rumah Dr. Anwar. Di perkampungan Nirmala tinggal jauh dari pusat keramaian. Satu-satunya dokter yang bertugas disana adalah dokter Anwar. Letak rumah Nirmala dengan Dr. Anwar sangat jauh. Untuk sampai kesana mereka membutuhkan angkot.

Setelah Dr. Anwar memeriksa keadaan Nirmala, Dr. Memberikan suntikan untuk menyadarkan Nirmala. Dokter Anwar hanya menjelaskan bahwa Nirmala hanya demam biasa. Dan akan segera turun. Dia hanya kelelahan dan butuh istirahat. Dokter memberikannya obat penurun panas serta penambah darah. Karena tensi darahnya di bawah normal.

Tak lama kemudian Nirmala sadar, Bibi Asih merangkulnya dengan erat.

"Nak, apa Nak Nirmala tidak ingin memberitahukan mama bahwa kamu sedang sakit sekarang?"

"Tidak perlu Bibi Asih, kata dokter kan cuma demam biasa. Jadi tidak perlu khawatir ya," jawab Nirmala menenangkan Bibi Asih.

"Baiklah Nirmala," Bibi Asih hanya menganggukkan kepalanya saja.

Dalam hatinya, dia beruntung memiliki putri seperti Nirmala, meski dia bukan anak kandungnya, Nirmala anak yang baik. Tidak pernah sekalipun dia membanggakan kekayaan kedua orang tuanya.

"Bu Asih, jangan biarkan Nirmala bekerja terlalu keras ya. Suruh jaga kondisinya, jangan sampai Nirmala telat makan juga," pesan Dokter Anwar

"Baik Dokter Anwar,"

Sampainya dirumah Bibi Asih, Nirmala tidak langsung istirahat. Dia mengambil sapu dan akan memulai membersihkan debu dilantai.

Bibi Asih yang melihatnya, segera mengambil paksa dari tangan Nirmala. Dia terkejut, nampaknya Bibinya terlihat marah terlihat wajahnya yang datar.

"Dokter bilang apa tadi padamu? Kamu harus beristirahat. Kamu tidak boleh capek-capek," kata Bibi Asih dengan emosi yang tertahan.

Bibi Asih tidak mungkin memarahi gadis itu. Dia hanya marah karena tidak mau menurut perintahnya untuk diam sejenak dirumah.

"Lalu aku harus ngapain Bibi Asih?" Tanya Nirmala lemah tak ada tenaga.

"Kamu pergi kekamar, nanti bibi bawakan bubur untuk isi perut kamu. Lalu minum obatnya," Bibi Asih menggandeng tangan Nirmala berjalan menuju kamarnya.

Di kamar Nirmala, jauh dari kesan mewah. Lain dari rumahnya dikota. Yang ber-AC, ada plavon, dan lemari baju yang bagus. Dikamar ini begitu sederhana, kesederhanaan nya yang mampu membuat Nirmala betah tinggal dirumah Bibi Asih.

Meski di ranjang beralas kasur lama yang isinya sudah menyatu dan keras. Melihat langit-langit atap ada yang menari-nari terkena angin. Tertiup angin dan jatuh.

Nirmala merasakan sakit pada sekujur tubuhnya utamanya pada bagian kulit. Makin lama rasa sakit itu semakin menyerangnya.

"Ya Allah berilah kekuatan pada diriku, untuk terus menerima semua karunia dariMu entah berupa kesehatan, rezeki dan penyakit sekalipun,"

Bibi Asih membawakan Bubur dalam mangkuk untuk Nirmala.

"Nirmala, ayo makan dulu lalu minum obatnya," suruh Bibi Asih.

Nirmala bangun dari tidurnya, bersandar didinding ranjangnya.

Bibi Asih menyuapinya, Nirmala menolaknya.

"Tidak perlu Bi, Nirmala bukan anak kecil. Nirmala bisa makan sendiri," Kata Nirmala.

"Bibi sudah menganggapnnu anak Nirmala, jadi anggaplah bibimu ini adalah ibumu sendiri," pinta Bibi Asih penuh perhatian.

Nirmala tersenyum. Dan menerima suapan dari tangan Bibi.

Setelah meminum obat, Nirmala mulai mengantuk. Akhirnya dia terlelap karena pengaruh obat.

Keesokan harinya, demam Nirmala sudah turun. Dia berganti pakaian dan akan ikut pamannya kesawah memanen padi yang kemarin belum dilanjutkan.

Nirmala dihadang Bibi Asih, dengan wajah datar tidak ada senyum riangnya disana. Tidak seperti biasanya wajah Bibi Asih begitu ceria dan ramah. Hari ini tampaknya sangat menakutkan.

"Nirmala, kamu mau kemana lagi?" Tanya Bibi Asih mengambil dengan paksa sabit yang ada ditangan Nirmala.

"Biasanya Bibi Asih. Bantu paman ke sawah lagi, kasihan paman dan Bibi harus memanen padi tanpa bantuan siapapun," jawab Nirmala

"Sudahlah Nirmala, kamu kembalilah beristirahat sana. Jaga juga kondisimu," imbuh Paman Khasan yang belum berangkat.

"Baiklah Paman, Bibi. Saya dirumah dulu saja", akhirnya Nirmala mengalah demi kesehatannya sendiri.

"Awas kamu Nirmala, kalau sampai kamu tidak menuruti omongan Bibi Asih, Bibi akan marah sama kamu!" Bibi Asih mulai mengancam Nirmala Yang terkadang suka membangkang.

Keduanya meninggalkan Nirmala dirumah sendiri.

Tapi dia tidak tinggal diam saja. Segala pekerjaan rumah yang belum di selesaikan oleh Bibi, dia kerjakan hingga selesai.

avataravatar
Next chapter